Pada awal Abad ke 20 dikenal sebagai masa kebangkitan nasional di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan nasional bangsa Indonesia yang menjelma dalam bentuk organisasi. Hal ini tampak tatkala didirikan “Budi Utoma” pada tahun 1908 oleh Dr. Sutomo, dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911 oleh Haji Samanhudi serta Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Amin Rais mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang merupakan suatu fenomena modern. Ciri kemoderenan dari organisasi ini menurutnya ada tiga hal pokok; Pertama bentuk gerakannya yang terorganisir, kedua aktivitas pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya dan ketiga pendekatan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi terutama amal usahanya. Selanjutnya Nur Ahmad mengatakan bahwa Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai fenomena baru dari wajah Islam abad ke 20 yang kemudian melahirkan modernisme Islam Indonesia.
Adapun Deliar Noer mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai pada era sekarang ini.
Dari pernyataan-pernyataan para ilmuan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan organisasi sosial keagamaan modern dalam Islam.
Disinyalir bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam lahir didirikan oleh sekelompok santri untuk memainkan peranan dalam bidang perdagangan dan politik. Kehadiran Muhammadiyah yang notabene dirintis juga oleh kaum santri yang memegang sebahagian besar tanggung jawab umat dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Lahirnya berbagai organisasi di atas sudah barang tentu berfungsi sebagai suatu langkah yang diambil untuk merespon tuntutan zaman demi kepentingan masyarakat muslim.
Namun demikian Muhammadiyah dalam kurun waktu perjalanan sejarah hampir 1 abad lamanya sejak didirikannya pada tahun 1912 sampai saat ini kenyataannya membuktikan bahwa apa yang telah dirintis sebagai hal baru di masa lalu dengan penuh susah payah kini telah menjadi milik masyarakat umum, bahkan organisasi ini, kini ternyata dilanda gejala pengaburan eksistensi. Ia kini tidak banyak dikenal orang, dengan kata lain eksistensinya hanya dirasakan oleh sebahagian pengurus dan para anggotanya. Sementara di luar komunitas secara bersamaan maupun berurutan, umat kini dalam kondisi kritis menanti jawaban Muhammadiyah terutama realitas pemikiran dalam menghadapi tantangan baru.
Permasalahannya adalah bagaimana eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dalam Islam atau gerakan sosial keagamaan, yang dinamis dan realistis di tengah-tengah perubahan masyarakat modern? Pertanyaan yang problematika tersebut muncul sebagai cerminan akan keprihatinan masyarakat terhadap ketidak berdayaan organisasi Islam alam mengantisipasi berbagai persoalan umat sebagai tanggung jawab moril dan struktural
Tinjauan Historis Lahirnya Muhammadiyah
A. Latar
belakang
Peranan K.H. Ahmad Dahlan cukup jelas, ia mendirikan organisasi persyarikatan Muhammadiyah tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam di dalam diri persyerikatan tersebut dititipkan amanah pembaharuan masyarakat, bangsanya berdasarkan cita-cita Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan umat Islam berada dibawah belenggu cengkraman penjajahan, kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan terlebih lagi jika dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial dan yayasan Katolik / Protestan. Dalam bidang pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo dan lain sebagainya mengalami nasib yang sama. Belum lagi situasi umum umat Islam yang sangat mengkhawatirkan seperti kebodohan, Keterbelakangan dan kemiskinan.
Dalam situasi tersebut di atas, muncullah ide untuk mendirikan suatu persyarikatan guna merespon tantangan Zaman tersebut dalam wujud pendirian sebuah “organisasi” yang menampakkan ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia merupakan pioner, di samping sarekat Islam (SI).
Dalam bahasa HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini pertama Keterbelakangan dan kebodohan umat Islam di Indonesia pada semua aspek kehidupan, kedua kondisi kemiskinan yang parah yang dialami oleh umat Islam, Ketiga kondisi pendidikan Islam yang sudah amat kuno seperti yang telihat dalam pesantren.
Sedangkan Mustafa Kamal Pasyha mengatakan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.
Pertama : Faktor subyektif yakni hasil dari perenungan, penelaahan, pembahasan dan pengkajian yang mendalam Ahmad Dahlan terhadap al-Quran
Kedua : Faktor obyektif yang bersifat internal yakni ketidak murnian amalan umat Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an an Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebahagian besar umat Islam, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam ketika itu belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengembang misi selaku khalifah Allah di atas bumi.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal yakni semakin meningkatknya gerakan kristenisasi di Indonesia. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia khusunya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, lepas pengaruh paham Modernisme Islam Timur Tengah yang dipelopori oleh ulama Cendikiawan Mesir “ Muhammad Abduh”
Muhammad Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslimin dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang benar dan meninggalkan bid’ah dan khurafat-khurafat yang umumnya dianggap sebagai bagian integral agama. Selanjutnya berpendapat bahwa cara paling tepat untuk menjawab tantangan barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam sambil memegang teguh sumber-sumber Islam yang asli.
Juga tatkala pentingnya adalah adanya pertentangan internal masyarakat Jawa, dimana paling tidak ada dua kelompok yang bersemberangan yaitu “Priyayi” (muslim) yang dangkal tingkat komitmen keislamannya di satu pihak, dan kaum “santri” di pihak lain.
Sebagai keturunan kaum muslim santri, Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh di lingkungan yang religius tempat ortodaksi Islam tengah menghadapi ancaman serius Jawa-Hindu. Saat berdirinya Budi Utomo, Dahlan menyaksikan kuatnya Islam singkritis melalui kebangkitan kebudayaan priyayi. Dengan melihat kondisi seperti ini Ahmad Dahlan merasa terpanggil dan tertantang untuk bertindak segera melawan gelombang ini. Bagi Ahmad Dahlan tidak ada pilihan kecuali mendirikan organisasi yang dapat membebaskan Islam Jawa dari kebudayaan lokal dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan respon logis terhadap “Ketidakmurnian” yang telah lama berakar dalam masyarakat Jawa yang dikembangkan oleh Priyayi.
B. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di kampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama sitti Aminah putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. Singkatnya bahwa Muh Darwis baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya adalah keturunan ulama.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Kauman khususnya ketika itu tersebar pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah gubernuran dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.
Selanjutnya ia menambah berbagai ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang kenamaan di yogyakarta. Kemudian atas ajaran ayah bundahnya Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890 M. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan bersilaturrahmi dengan para ulama yang telah ditunjukkan oleh ayahnya di samping itu ia menerima berbagai ilmu pengetahuan di Masjid Haram. Ketika berguru pada ulama Mazhab Syafi’i Sayyid Bakri Shyanta dan mendapat Ijazah nama K.H Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1891 M. selain berganti nama juga bertambah ilmunya. Selain nama K.H. Ahmad Dahlan juga mendapat gelar khatib amin, setelah kembali dari tanah suci yang kedua kalinya ia disibukkan oleh berbagai kegiatan seperti berdakwah, mengajar, berdiskusi bahkan melibatkan diri pada organisasi yang telah ada seperti Budi Uotomo. Al-Hasil puncak dari pada usaha K. H. Ahmad Dahlan didirikanlah organisasi “Muhammadiyah” dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw.
C. Makan dari Nama Muhammadiyah
Secara etimologi Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapat “Ya Nisabah” yang artinya menjelaskan. Jadi Muhammadiyah berarti Umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad saw yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Secara terminologi Muhammadiyah ialah gerakan Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam dan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. di kota Yogyakarta dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya “Izzatul Islam wal Muslimin” kejayaan Islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan organisasi ini telah mengalami beberapa kali amandemen, baik dari redaksional, susunan bahasa dan perubahan istilah. Pada mula berdirinya, rumusan maksud dan tujuannya adalah : Pertama menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra, dalam residen Yogyakarta, memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Kemudian setelah organisasi ini melebar ke luar Yogyakarta, maka rumusannya disempurnakan menjadi. Pertama; meningkatkan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda. Kedua; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam, kepada sekutu-sekutunya
Dalam perkembangan selanjutnya sebagai mana kita lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah Bab II pasal 2 sebagai berikut : Maksud dan Tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tujuan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Prospek Muhammadiyah Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan
Eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dapat dilihat dari dua hal yaitu : 1. Ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan. 2. Esensi yang menjadi sifat strategi gerakannya.
Perjalanan sejarah panjang persyariktan Muhammadiyah memperlihatkan ciri khasnya yang menjadi identitas dari hakikat atau jati dirinya
1. Ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah pertama; Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua; Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, ketiga; Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berarti segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dsb tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Tegasnya kedepan gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dan wujud yang riel, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar’ berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai model usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak, semacam berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruan Tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi atau perwujudan dakwah Islamiyah dengan niat dan tujuan yang tangguh, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sebagai pemurni ajaran Islam dari berbagai penyimpangan seperti; syrik, khurafat, bid’ah dan taqlid, yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang….. Tajdid yang dikenalkan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebagai pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah yang melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dan kehidupan masyarakat…
Untuk membedakan antara keduanya adalah “Tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (Purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation)
2. Esensi dari Kepribadian Muhammadiyah Terletak Pada Sepuluh Sifat yang dimilikinya
Pertama; Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua; Memperbanyak kawan dan mengamalkan dakwah Islamiyah. Ketiga; Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat; Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima; Mengindahkan segala hukum undang-undang peraturan, serta dasar dan Falsafah negara. Keenam; Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi corak teladan sesuai dengan ajaran Islam. Ketujuh; Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam Kedelapan; Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ilmu serta membela kepentingannya. Kesembilan; membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain di dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Kesepuluh; Bersifat adil dan kreatif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Baik ciri perjuangan Muhammadiyah maupun esensi yang menjadi sifat strategisnya sebagai gerakan merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi tantangan di masyarakat baik dalam sejarah maupun dimasa yang akan datang. Muhammadiyah tetap eksis sebagai gerakan sosial keagamaan dihadapan setumpuk persoalan.
Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang cukup dan bermanfaat bagi pembinaan individu maupun sosial. Misalnya dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan program ini dalam skala yang besar dengan sistem yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh pesantren pada masa lalu. Sementara telah ada institusi pendidikan yang dikelola oleh misionaris yang pada umumnya terletak di perkotaan dengan manajemen yang dianggap modern pada saat itu. Persoalannya ialah masih layakkah pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan kini sebagai gerakan reformasi.
Sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, Muhammadiyah akan senantiasa terlibat dengan setiap wacana masalah keumatan (kerakyatan), isu demokratisasi, Hak Asasi dan pemberdayaan rakyat serta gender. Setelah itu muncul kritik sistemik, krisis moral, korupsi dan lingkungan hidup, yang akan menjadi persoalan krusial, dihadapan Muhammadiyah sebagai organisasi yang didedikasikannya untuk keumatan harus merespon kenyataan tersebut. Persolannya ialah Mampukah Muhammadiyah kini untuk menjawab tantangan itu?
Berdasarkan paradigma Kontowijoyo, maka Muhammadiyah susah untuk merespon tantangan itu, Menurut Kontowijoyo, hal ini disebabkan oleh karena perspektif “Community development” Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas, oleh karena itu Muhammadiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Selama gerakannya belum pernah didasarkan pada elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Gerakannya masih didasarkan atas kesadaran subyektif-normantik.
Misalnya, Muhammadiyah selama ini tampaknya masih belum bisa menerjemahkan siapa yang dimaksud dengan kaum Dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin dalam konteks sosial yang empiris. Keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial belum didasarkan pada kesadaran obyektif-empiris, namun didasarkan pada kesadaran subyektif normatif.
Adalah menjadi tugas ijtihad gerakan-gerakan pembaharu semacam Muhammadiyah untuk mulai membangun Islam dalam realitas obyektif. Di samping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subyektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas obyektifnya.
Dalam konteks ini, memperjuangkan Islam dalam realitas obyektif adalah menata sistem-sistem sosial masyarakat Islam. Dalam artian, kita harus menerjemahkan Islam pada tataran empiris. Misalnya bagaimana mengimplementasikan konsep-konsep normatif tentang siapa yang dimaksud dengan kaum dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin pada formulasinya yang obyektif dan empiris. Implementasi ini akan membantu dalam memberikan panduan tentang bagaimana peranan mereka dalam sistem ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Tanpa obyektivitas semacam ini, umat Islam akan mengalami spilit existence- dalam realitas subyektif ia Muslim tapi pada saat yang sama ia tidak mampu mempertahankan kemuslimannya pada dunia obyektif.
Berbagai realitas yang dapat dikemukakan untuk memperjelas fenomena melemahnya daya antisipasi terhadap perubahan-perubahan adalah :
Kenyataan Pertama :berada pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah; kenyataan kedua berhubungan dengan adopsi teknologi dalam arti produk, dan kenyataan ketiga berkaitan dengan metode atau cara pengembangan organisasi.
Melemahnya daya antisipasi berikut berbagai gejala yang menampakkannya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor penting, baik eksternal maupun internal. Pertama, terjadinya degradasi aspek pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah sebagai suatu pemikiran. Kedua, sebagai jajaran persyarikatan maupun amal usaha lebih terpaku pada rutinitas gerak, ketiga, melemahnya daya dukung ekonomi, dan keempat, sektor pengkaderan.
Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka Muhammadiyah akan tenggelam dalam arus marginalisasi peranan. Agar jati diri Muhammadiyah sebagai pemekarsa pergerakan inovatif tetap eksis dan menjadi ormas yang berpengaruh di masa depan, maka ada beberapa persoalan yang ia harus rekonstruksi, yakni :
Pertama, merumuskan kembali “ideologi tajdid” yang menjadi jati dirinya, Ketika telah banyak lapangan Muhammadiyah tekad direbut oleh organisasi lain, maka Muhammadiyah harus merumuskan kembali corak tajdid sebagai bahan acuan yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lainnya.
Kedua, menghilangkan kesenjangan antara potensi diri yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan tuntutan peranan yang harus dimainkan. Dalam konteks ini, kaderisasi, kepemimpinan adalah aspek yang paling memprihatinkan. Bukan saja kuantitas pimpinan mumpuni yang minim, tetapi juga kualitas pimpinannya juga tidak sepadan dengan tugas yang harus dijalankannya.
Ketiga, Penentuan proritas kegiatan Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang sangat ambisius yang ingin mengerjakan begitu banyak bidang tetapi tidak didukung dengan sumber daya dan dana yang sepadan akibat tidak tegasnya dalam memilih lahan kegiatan.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas, baik yang berhubungan dengan kelemahan dan kekuatan Muhammadiyah, maupun yang berkaitan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, tentu saja belum menggambarkan keseluruhan persoalan. Masih diperlukan lagi upaya yang serius dan terus menerus untuk menganalisis berbagai fenomena serta mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Penutup / Kesimpulan
Kebutuhan manusia akan agama adalah kebutuhan manusia terhadap kemanusiaan itu sendiri . Islam yang memiliki ajaran sosial sebagai petunjuk, peringatan sekaligus penuntun kepada pencerahan kehidupan sosial. Di era ketika nilai kemanusiaan menjadi degradasi, persoalan kultural hingga struktural menjadi wacana yang memerlukan pemecahan dengan kecerdasan dalam upaya aktualisasi agama.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tak bisa menghindari dari respon-respon terhadap fenomena global. Maka dari itu, khittah perjuangan Muhammadiyah dan slogan-slogan yang telah “basi” perlu direkonstruksi ulang dalam direvitalisasi dalam rangka menghadapi tantangan tersebut.
Untuk mempertahankan citranya sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah harus menampilkan dirinya sebagai gerakan ilmu. Jika tidak, Muhammadiyah harus dengan rela melepaskan atribut gerakan tajdid agar beban mental dan psikologi sedikit berkurang, karena saat ini Muhammadiyah menjadi gerakan Islam “Biasa-biasa saja”
Peranan K.H. Ahmad Dahlan cukup jelas, ia mendirikan organisasi persyarikatan Muhammadiyah tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Sebagai gerakan Islam di dalam diri persyerikatan tersebut dititipkan amanah pembaharuan masyarakat, bangsanya berdasarkan cita-cita Islam.
Ketika Muhammadiyah didirikan umat Islam berada dibawah belenggu cengkraman penjajahan, kebekuan pemikiran keagamaan, rendahnya mutu pendidikan terlebih lagi jika dibandingkan dengan dunia pendidikan umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial dan yayasan Katolik / Protestan. Dalam bidang pelayanan sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan, rumah jompo dan lain sebagainya mengalami nasib yang sama. Belum lagi situasi umum umat Islam yang sangat mengkhawatirkan seperti kebodohan, Keterbelakangan dan kemiskinan.
Dalam situasi tersebut di atas, muncullah ide untuk mendirikan suatu persyarikatan guna merespon tantangan Zaman tersebut dalam wujud pendirian sebuah “organisasi” yang menampakkan ciri khas model gerakan pembaruan keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia merupakan pioner, di samping sarekat Islam (SI).
Dalam bahasa HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini pertama Keterbelakangan dan kebodohan umat Islam di Indonesia pada semua aspek kehidupan, kedua kondisi kemiskinan yang parah yang dialami oleh umat Islam, Ketiga kondisi pendidikan Islam yang sudah amat kuno seperti yang telihat dalam pesantren.
Sedangkan Mustafa Kamal Pasyha mengatakan bahwa ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.
Pertama : Faktor subyektif yakni hasil dari perenungan, penelaahan, pembahasan dan pengkajian yang mendalam Ahmad Dahlan terhadap al-Quran
Kedua : Faktor obyektif yang bersifat internal yakni ketidak murnian amalan umat Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an an Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebahagian besar umat Islam, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam ketika itu belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengembang misi selaku khalifah Allah di atas bumi.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal yakni semakin meningkatknya gerakan kristenisasi di Indonesia. Penetrasi bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia khusunya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia
Hadirnya Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, lepas pengaruh paham Modernisme Islam Timur Tengah yang dipelopori oleh ulama Cendikiawan Mesir “ Muhammad Abduh”
Muhammad Abduh secara khusus berpandangan bahwa kaum muslimin dapat bersatu hanya dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam yang benar dan meninggalkan bid’ah dan khurafat-khurafat yang umumnya dianggap sebagai bagian integral agama. Selanjutnya berpendapat bahwa cara paling tepat untuk menjawab tantangan barat adalah dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan masyarakat Islam sambil memegang teguh sumber-sumber Islam yang asli.
Juga tatkala pentingnya adalah adanya pertentangan internal masyarakat Jawa, dimana paling tidak ada dua kelompok yang bersemberangan yaitu “Priyayi” (muslim) yang dangkal tingkat komitmen keislamannya di satu pihak, dan kaum “santri” di pihak lain.
Sebagai keturunan kaum muslim santri, Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh di lingkungan yang religius tempat ortodaksi Islam tengah menghadapi ancaman serius Jawa-Hindu. Saat berdirinya Budi Utomo, Dahlan menyaksikan kuatnya Islam singkritis melalui kebangkitan kebudayaan priyayi. Dengan melihat kondisi seperti ini Ahmad Dahlan merasa terpanggil dan tertantang untuk bertindak segera melawan gelombang ini. Bagi Ahmad Dahlan tidak ada pilihan kecuali mendirikan organisasi yang dapat membebaskan Islam Jawa dari kebudayaan lokal dengan demikian dapat dipahami bahwa lahirnya Muhammadiyah merupakan respon logis terhadap “Ketidakmurnian” yang telah lama berakar dalam masyarakat Jawa yang dikembangkan oleh Priyayi.
B. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di kampung kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis ayahnya adalah K.H. Abu Bakar, seorang khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama sitti Aminah putri K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta. Singkatnya bahwa Muh Darwis baik dari pihak ayahnya maupun pihak ibunya adalah keturunan ulama.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Kauman khususnya ketika itu tersebar pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah gubernuran dianggap kafir atau Kristen. Oleh karena itu, ketika menginjak usia sekolah Muhammad Darwis tidak disekolahkan melainkan diasuh dan dididik mengaji al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah.
Selanjutnya ia menambah berbagai ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang kenamaan di yogyakarta. Kemudian atas ajaran ayah bundahnya Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890 M. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan bersilaturrahmi dengan para ulama yang telah ditunjukkan oleh ayahnya di samping itu ia menerima berbagai ilmu pengetahuan di Masjid Haram. Ketika berguru pada ulama Mazhab Syafi’i Sayyid Bakri Shyanta dan mendapat Ijazah nama K.H Ahmad Dahlan. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1891 M. selain berganti nama juga bertambah ilmunya. Selain nama K.H. Ahmad Dahlan juga mendapat gelar khatib amin, setelah kembali dari tanah suci yang kedua kalinya ia disibukkan oleh berbagai kegiatan seperti berdakwah, mengajar, berdiskusi bahkan melibatkan diri pada organisasi yang telah ada seperti Budi Uotomo. Al-Hasil puncak dari pada usaha K. H. Ahmad Dahlan didirikanlah organisasi “Muhammadiyah” dengan harapan para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw.
C. Makan dari Nama Muhammadiyah
Secara etimologi Muhammadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir. Kemudian mendapat “Ya Nisabah” yang artinya menjelaskan. Jadi Muhammadiyah berarti Umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad saw yaitu semua orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Secara terminologi Muhammadiyah ialah gerakan Islam, dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam dan bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. di kota Yogyakarta dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya “Izzatul Islam wal Muslimin” kejayaan Islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan organisasi ini telah mengalami beberapa kali amandemen, baik dari redaksional, susunan bahasa dan perubahan istilah. Pada mula berdirinya, rumusan maksud dan tujuannya adalah : Pertama menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra, dalam residen Yogyakarta, memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Kemudian setelah organisasi ini melebar ke luar Yogyakarta, maka rumusannya disempurnakan menjadi. Pertama; meningkatkan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda. Kedua; memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam, kepada sekutu-sekutunya
Dalam perkembangan selanjutnya sebagai mana kita lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah Bab II pasal 2 sebagai berikut : Maksud dan Tujuan persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga tujuan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Prospek Muhammadiyah Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan
Eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dapat dilihat dari dua hal yaitu : 1. Ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan. 2. Esensi yang menjadi sifat strategi gerakannya.
Perjalanan sejarah panjang persyariktan Muhammadiyah memperlihatkan ciri khasnya yang menjadi identitas dari hakikat atau jati dirinya
1. Ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah pertama; Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua; Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, ketiga; Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berarti segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dsb tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Tegasnya kedepan gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dan wujud yang riel, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”
Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar’ berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai model usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak, semacam berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruan Tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi atau perwujudan dakwah Islamiyah dengan niat dan tujuan yang tangguh, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sebagai pemurni ajaran Islam dari berbagai penyimpangan seperti; syrik, khurafat, bid’ah dan taqlid, yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang….. Tajdid yang dikenalkan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebagai pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah yang melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dan kehidupan masyarakat…
Untuk membedakan antara keduanya adalah “Tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (Purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation)
2. Esensi dari Kepribadian Muhammadiyah Terletak Pada Sepuluh Sifat yang dimilikinya
Pertama; Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Kedua; Memperbanyak kawan dan mengamalkan dakwah Islamiyah. Ketiga; Lapang dada dan luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam. Keempat; Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Kelima; Mengindahkan segala hukum undang-undang peraturan, serta dasar dan Falsafah negara. Keenam; Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi corak teladan sesuai dengan ajaran Islam. Ketujuh; Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islah pembangunan sesuai dengan ajaran Islam Kedelapan; Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ilmu serta membela kepentingannya. Kesembilan; membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain di dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah. Kesepuluh; Bersifat adil dan kreatif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Baik ciri perjuangan Muhammadiyah maupun esensi yang menjadi sifat strategisnya sebagai gerakan merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghadapi tantangan di masyarakat baik dalam sejarah maupun dimasa yang akan datang. Muhammadiyah tetap eksis sebagai gerakan sosial keagamaan dihadapan setumpuk persoalan.
Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang cukup dan bermanfaat bagi pembinaan individu maupun sosial. Misalnya dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan program ini dalam skala yang besar dengan sistem yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh pesantren pada masa lalu. Sementara telah ada institusi pendidikan yang dikelola oleh misionaris yang pada umumnya terletak di perkotaan dengan manajemen yang dianggap modern pada saat itu. Persoalannya ialah masih layakkah pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan kini sebagai gerakan reformasi.
Sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, Muhammadiyah akan senantiasa terlibat dengan setiap wacana masalah keumatan (kerakyatan), isu demokratisasi, Hak Asasi dan pemberdayaan rakyat serta gender. Setelah itu muncul kritik sistemik, krisis moral, korupsi dan lingkungan hidup, yang akan menjadi persoalan krusial, dihadapan Muhammadiyah sebagai organisasi yang didedikasikannya untuk keumatan harus merespon kenyataan tersebut. Persolannya ialah Mampukah Muhammadiyah kini untuk menjawab tantangan itu?
Berdasarkan paradigma Kontowijoyo, maka Muhammadiyah susah untuk merespon tantangan itu, Menurut Kontowijoyo, hal ini disebabkan oleh karena perspektif “Community development” Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas, oleh karena itu Muhammadiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Selama gerakannya belum pernah didasarkan pada elaborasi yang mendalam tentang realitas sosial yang obyektif. Gerakannya masih didasarkan atas kesadaran subyektif-normantik.
Misalnya, Muhammadiyah selama ini tampaknya masih belum bisa menerjemahkan siapa yang dimaksud dengan kaum Dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin dalam konteks sosial yang empiris. Keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial belum didasarkan pada kesadaran obyektif-empiris, namun didasarkan pada kesadaran subyektif normatif.
Adalah menjadi tugas ijtihad gerakan-gerakan pembaharu semacam Muhammadiyah untuk mulai membangun Islam dalam realitas obyektif. Di samping untuk terus memperjuangkan Islam dalam konteks kesadaran subyektif, kita berupaya memperjuangkan Islam dalam realitas obyektifnya.
Dalam konteks ini, memperjuangkan Islam dalam realitas obyektif adalah menata sistem-sistem sosial masyarakat Islam. Dalam artian, kita harus menerjemahkan Islam pada tataran empiris. Misalnya bagaimana mengimplementasikan konsep-konsep normatif tentang siapa yang dimaksud dengan kaum dhuafa, masakin, fuqara, dan mustad’afin pada formulasinya yang obyektif dan empiris. Implementasi ini akan membantu dalam memberikan panduan tentang bagaimana peranan mereka dalam sistem ekonomi, sosial, birokrasi, dan sebagainya. Tanpa obyektivitas semacam ini, umat Islam akan mengalami spilit existence- dalam realitas subyektif ia Muslim tapi pada saat yang sama ia tidak mampu mempertahankan kemuslimannya pada dunia obyektif.
Berbagai realitas yang dapat dikemukakan untuk memperjelas fenomena melemahnya daya antisipasi terhadap perubahan-perubahan adalah :
Kenyataan Pertama :berada pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah; kenyataan kedua berhubungan dengan adopsi teknologi dalam arti produk, dan kenyataan ketiga berkaitan dengan metode atau cara pengembangan organisasi.
Melemahnya daya antisipasi berikut berbagai gejala yang menampakkannya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor penting, baik eksternal maupun internal. Pertama, terjadinya degradasi aspek pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah sebagai suatu pemikiran. Kedua, sebagai jajaran persyarikatan maupun amal usaha lebih terpaku pada rutinitas gerak, ketiga, melemahnya daya dukung ekonomi, dan keempat, sektor pengkaderan.
Jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka Muhammadiyah akan tenggelam dalam arus marginalisasi peranan. Agar jati diri Muhammadiyah sebagai pemekarsa pergerakan inovatif tetap eksis dan menjadi ormas yang berpengaruh di masa depan, maka ada beberapa persoalan yang ia harus rekonstruksi, yakni :
Pertama, merumuskan kembali “ideologi tajdid” yang menjadi jati dirinya, Ketika telah banyak lapangan Muhammadiyah tekad direbut oleh organisasi lain, maka Muhammadiyah harus merumuskan kembali corak tajdid sebagai bahan acuan yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lainnya.
Kedua, menghilangkan kesenjangan antara potensi diri yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan tuntutan peranan yang harus dimainkan. Dalam konteks ini, kaderisasi, kepemimpinan adalah aspek yang paling memprihatinkan. Bukan saja kuantitas pimpinan mumpuni yang minim, tetapi juga kualitas pimpinannya juga tidak sepadan dengan tugas yang harus dijalankannya.
Ketiga, Penentuan proritas kegiatan Muhammadiyah telah menjadi organisasi yang sangat ambisius yang ingin mengerjakan begitu banyak bidang tetapi tidak didukung dengan sumber daya dan dana yang sepadan akibat tidak tegasnya dalam memilih lahan kegiatan.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas, baik yang berhubungan dengan kelemahan dan kekuatan Muhammadiyah, maupun yang berkaitan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, tentu saja belum menggambarkan keseluruhan persoalan. Masih diperlukan lagi upaya yang serius dan terus menerus untuk menganalisis berbagai fenomena serta mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Penutup / Kesimpulan
Kebutuhan manusia akan agama adalah kebutuhan manusia terhadap kemanusiaan itu sendiri . Islam yang memiliki ajaran sosial sebagai petunjuk, peringatan sekaligus penuntun kepada pencerahan kehidupan sosial. Di era ketika nilai kemanusiaan menjadi degradasi, persoalan kultural hingga struktural menjadi wacana yang memerlukan pemecahan dengan kecerdasan dalam upaya aktualisasi agama.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tak bisa menghindari dari respon-respon terhadap fenomena global. Maka dari itu, khittah perjuangan Muhammadiyah dan slogan-slogan yang telah “basi” perlu direkonstruksi ulang dalam direvitalisasi dalam rangka menghadapi tantangan tersebut.
Untuk mempertahankan citranya sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah harus menampilkan dirinya sebagai gerakan ilmu. Jika tidak, Muhammadiyah harus dengan rela melepaskan atribut gerakan tajdid agar beban mental dan psikologi sedikit berkurang, karena saat ini Muhammadiyah menjadi gerakan Islam “Biasa-biasa saja”
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Pendekatan Teologi: dalam memahami
Muhammadiyah dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intellektualisme Muhammadiyah Menyongsong
Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.
Ahmad, Nur dan Pornomo Tantowi(ed), Muhammadiyah “Digugat” Revosisi di tengah Indonesia yang Berubah. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran di Indonesia dan Modernisme Islamic Thought in Indonesian. Yayasan NIDA 1971.
Hamka, “K.H. Ahmad Dahlan” dalam Buku Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah. Jakarta 1952.
Kontowijoyo, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah Sebagai Gerakan Organisasi Sosial Keagamaan” dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.
Kusuma, Hadi, Dari Jamaluddin al-Afgani Sampai K.H. Ahmad Dahlan. Persatuan Yogayakarta, t.th.
Jainuri, A Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah.Cet. I; Yogyakarta: 2000.
Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Cet. I; Yogyakarta: Persatuan, 1990.
Noer, Deliar The Modernisme Muslim Movement Indonesia 1900-1942, diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dengan judul Gerakan Modernisme dan Islam di Indonesia 1990-1942 (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.
Pasyha, Mustafa Kamal, dan Muh. Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2000.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Cet. I; PP. Muhammadiyah, 2000.
Rais, Amin, “Kata Pengantar” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyosong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan 1995.
Shihab, Alwi, Memendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi Indonesia.Cet. I; Bandung: Mizan, 1998.
Sukardi dkk (ed)Embrio Cendikiawan Muhammadiyah. Cet. I; Jakarta : Perkasa 1995.
Ahmad, Nur dan Pornomo Tantowi(ed), Muhammadiyah “Digugat” Revosisi di tengah Indonesia yang Berubah. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran di Indonesia dan Modernisme Islamic Thought in Indonesian. Yayasan NIDA 1971.
Hamka, “K.H. Ahmad Dahlan” dalam Buku Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah. Jakarta 1952.
Kontowijoyo, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah Sebagai Gerakan Organisasi Sosial Keagamaan” dalam kelompok Studi Lingkar (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan, 1995.
Kusuma, Hadi, Dari Jamaluddin al-Afgani Sampai K.H. Ahmad Dahlan. Persatuan Yogayakarta, t.th.
Jainuri, A Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa Pada Awal Abad Keduapuluh Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah.Cet. I; Yogyakarta: 2000.
Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Cet. I; Yogyakarta: Persatuan, 1990.
Noer, Deliar The Modernisme Muslim Movement Indonesia 1900-1942, diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dengan judul Gerakan Modernisme dan Islam di Indonesia 1990-1942 (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.
Pasyha, Mustafa Kamal, dan Muh. Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2000.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Cet. I; PP. Muhammadiyah, 2000.
Rais, Amin, “Kata Pengantar” dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed) Intelektualisme Muhammadiyah Menyosong Era Baru. Cet. I; Bandung: Mizan 1995.
Shihab, Alwi, Memendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi Indonesia.Cet. I; Bandung: Mizan, 1998.
Sukardi dkk (ed)Embrio Cendikiawan Muhammadiyah. Cet. I; Jakarta : Perkasa 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar